Kalo tidak salah info, selama CREEP tanpa lead vocal, tukang nyanyinya di rangkap oleh Munky (mungkin ada teman-teman yang mau mengkoreksi hal ini ?). Tapi sepertinya si kumis ala Zorro ini enggak pernah PeDe untuk merangkap jabatan. Mereka menyebar iklan di berbagai kesempatan. Audisi mencari vocal di gelar puluhan kali, tapi mereka gak nemu-nemu juga yang sesuai dengan aliran mereka terkini. Metal !
Disini kita belajar lagi. Audisi harusnya menjadi hal yang lumrah dilakukan jika kita ingin mengerjakan proyek musik secara serius. Bukan sekedar berdasar pada kenalan dekat atau pernik-pernik perkoncoan lainnya, apalagi asal comot begitu saja. Audisi jelas dimaksudkan untuk menambal kemampuan dan stamina setara. Bahkan kalo bisa, dengan bertambahnya personil baru, keberadaannya mampu memperkaya warna musik yang digarap. Tidak usah terburu-buru. Temukan yang betul-betul seimbang karena band sesungguhnya adalah sebuah komposisi kerja bersama, bukan ajang tonjol menonjol satu sama lain.
Karena belum menemukan jodoh juga, empat manusia Bakersfield ini akhirnya mudik. Selama ini mereka stay di Orange County, tempat mereka dulu melahirkan album indie label bersama Triple X Records. Di tengah perjalanan, mereka istirohat di sebuah POM Bensin..eh, bar. Disitulah mereka terpana melihat aksi Jonathan Davis dengan band nya yang bernama Sex Art (anjrit banget nama bandnya bro !). Sex Art membawakan aliran gaya-gaya Pearl Jam. Bagi mereka, suara Jon yang gahar garing nan kasar bin aneh mirip setan cocoknya ya disatukan dengan gagasan-gasan musik mereka. Dibawah panggung, Jon langsung ditodong diam-diam oleh para personil CREEP, dirayu-rayu (mungkin juga dijanjikan hal yang muluk-muluk) sehingga tak butuh waktu lama Jon mengatakan “Oke” untuk bergabung. Dari obrolan dadakan itulah makin diketahui bahwa Jon ternyata juga mempunyai latar belakang aneh. Selain nge-band, dia juga bekerja sebagai asisten pengobrak abrik jenasah alias bedah mayat di sebuah rumah sakit.
Bukan hanya itu, setelah dua minggu melakukan audisi lewat perekaman yang menghasilkan 4 demo lagu, Jon malah mengaku sebenarnya tidak terlalu menyukai musik hiruk pikuk, tapi sebaliknya, menurut Fieldy dkk, vocal Jon justru memberi warna lain bagi musik mereka yang baru. Buktinya, 2 dari 4 lagu itu diantaranya Daddy dan Blind, ngetop di kemudian hari.
Saya tidak tahu apakah perbuatan membajak personil band orang itu halal atau haram, tapi nyatanya, sejarah musik dunia maupun indo mencatat berderet-deret kasus semacam itu terjadi. Tidak sedikit pula dari mereka yang justru sukses ketika warna permainannya digabung dengan band yang telah membajaknya. Kebetulan saya termasuk orang yang tidak perduli dengan boleh atau tidaknya hal itu dilakukan. Menurut saya, “ keingin maju-an seseorang itu tidak ada yang berhak melarangnya.” Itu menyangkut hak asasi paling hakiki. Bebas membuat pilihan. Kalo sukses ya syukur, kalo kejedot ya resiko tanggung penumpang. Bisa juga menjalani dua-duanya sekaligus, tapi tentu saja komitmen dan konsekwensi yang harus ditepati makin gila-gilaan. Gak bisa dan gak boleh kita berat sebelah, sebab itu hanya akan menyisakan nasib yang menggantung bagi banyak pihak. Membuat jalannya revolusi makin berat.
Sebaliknya, gak bisa juga kita terlalu menuntut banyak bagi personil yang ingin mempunyai proyek band lain. Toh apa yang sedang kita siapkan belum tentu menjamin kesejahteraan hidupnya kelak. Menurut saya, yang paling aman adalah mencari personil yang cuma punya satu pilihan. Dengan demikian stamina dan konsentrasi kemajuan bisa focus, melesat pesat, sesuai skedul dan mampu mengejar target-target. Dalam sejarah band, sedikit sekali (bahkan hampir tidak ada) proyek band yang bisa jalan bersama. Sebagai contoh, dari jarak dekat kita bisa lihat Dewa 19 yang terpaksa mengendap ketika Ahmad Dhani mengerjakan The Rock Indonesia.
http://elexyoben.wordpress.com/2009/09/28/belajar-dari-jungkir-baliknya-korn-bagian-2-jonathan-davis-sebagai-nyawa-bonus/
twisted
http://www.youtube.com/watch?v=hm_s_NsqZGQ&feature=related
0 komentar:
Posting Komentar